Selasa, 25 Juli 2017

EKSPEDISI KELESTARIAN BENIH LOKAL KAB. JEMBER

Foto Maskus.Ekspedisi kelestarian benih lokal merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mendeteksi kembali keberadaan benih-benih lokal khususnya tanaman pangan dan hortikultura diwilayah Kab. Jember yang kabarnya sudah hampir punah. Selain itu, ekspedisi ini sebagai data identifikasi benih lokal diwilayah Kab. Jember dan menjaga keberadaannya diruang pelestarian khusus. Ekspedisi ini saya lakukan sejak hari Jumat tanggal 21 Juli 2017 hingga batas waktu yang tak ditentukan. Awal ekspedisi saya mulai di Kecamatan Kencong dan Gumukmas Kab. Jember dengan menyusuri berbagai desa dan dusun disana. Perjalanan saya lakukan seja pagi hari hingga menjelang malam hari. Perjalanan yang cukup lama akhirnya membuahkan hasil dengan menemukan areal persawahan diatas rawa. Hampir seluruh hamparan rawa tertanam tanaman padi yang saya duga benih yang ditanam merupakan benih lokal. Setelah saya cermati lebih dekat dugaan saya benar bahwa padi tersebut merupakan padi lokal rawa daerah Kecamatan Kencong dan Gumukmas Kab. Jember. Dugaan saya diperkuat oleh diskusi dengan warga setempat. Warga setempat bercerita bahwa padi tersebut merupakan padi kuno (lokal) dan keberadaanya sejak nenek moyang dahulu. Padi tersebut dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama padi rawa/laut/gondang/mei dengan usia tanaman sekitar 7 bulan. 
Foto Maskus.
Uniknya cara tanam dan panen padi lokal tersebut menggunakan terompah (bakiak kompak) seperti layaknya sebuah permainan tradisional. Bagaimana mungkin seorang petani bisa menanam dan memanen tanpa alas kuat untuk menahan beban tubuh diatas tanah yang mengambang diatas air tersebut. Tanah hitam menjadi ciri khusus lahan rawa tersebut. Lahan hitam tersebut berasal dari pengomposan tanaman air liar seperti eceng gondok yang menumpuk menutupi perairan rawa. Lahan rawa tersebut selama ini selalu ditanami komoditi padi lokal rawa saja, namun juga bisa berganti dengan komoditi lainnya jika beralih menjadi lahan kering. 

Foto Maskus.

Ekspedisi hari kedua (24/7/17) saya lanjutkan menuju ujung timur wilayah Kab. Jember yakni berkelana diwilayah Kecamatan Sumberjambe. Wilayah dataran tinggi dengan sumber air yang masih bersih dan pertaniannya yang cukup baik dari segi kebutuhan air dan kualitas lahannya. Namun sangat disayangkan meski kebutuhan utama pertanian tersedia tidak diimbangi dengan pengelolaan sumberdaya alam yang baik. Masyarakat desa yang menjunjung tinggi budaya, kearifan lokal dan jiwa bergotong royong semakin menipis keberadaanya. Ketika saya berkunjung kesuatu desa yang cukup jauh dari jalan besar dengan berharap mendapati petani yang masih menanam beberapa benih lokal yang saya cari. Setelah cukup lama mencari, sama seperti hari pertama sewaktu saya akan pulang sore hari, saya mendapati tanaman padi yang dicurigai hasil penanaman padi lokal. Kemudian saya berhenti dan menghampiri petani yang sedang berada ditengah sawah lalu saya bertanya "apakah bapak mengetahui petani yang menanam padi berumur panjang disekitar sini?'' lalu beliau menjawab ''Kebetulan saya menanam mas". Setelah saya banyak berbincang ternyata beliau bernaman Bapak Aziz, seorang petani berusia 54 tahun yang masih menjunjung tinggi kearifan lokal wilayahnya. Kegiatan pertanian tradisional yang dilakukan Bapak Aziz terpengaruh oleh era modernisasi saat ini, hal ini dikatakannya bahwa beliau mulai menggunakan pupuk sintetis dan pestisida meskipun minim. Disamping itu, pak Aziz masih mengolah sawahnya dengan kerbau dan menggunakan pestisida buatannya sendiri yang berasal dari daun mimba, bawang putih dan beberapa bahan alam lain.
Foto Maskus.Komoditi tanaman padi yang ditanam bapak Aziz bernama padi Sari Putih yang dikatakannya bahwa padi tersebut merupakan padi turunan dari keluarganya. Setelah banyak berbincang kemudian saya meninjau tanaman padi lokal tersebut dan saya mendapati ada beberapa tanaman padi lain yang tertanam dilahan tersebut. Tanpa berfikir lama sontak pak Aziz berkata ''itu namanya padi taiwan mas dan yang ini namanya padi solong''. Dalam satu petak lahan seluas kurang dari satu hektar  tersebut saya mendapati tiga macam padi lokal turun temurun wilayah tersebut meski dominasi padi Sari Putih lebih banyak. Padi lokal Sari Putih memiliki usia tanam yang cukup lama yakni sekitar 5,5 bulan namun disisi lain beras yang dihasilkan masuk kelas atas. Tonase gabah yang dihasilkan dalam satu hektarnya berkisar 3,5 ton menurutnya. Selain tiga benih lokal yang saya temukan, menurut pak Aziz masih banyak benih lokal disaerahnya, entah sudah punah atau belum. Benih padi lokal tersebut bernama Santowo, padi Po'dek, Srikuning, padi Putih dan Siem. 
Foto Maskus.
Ekspedisi hari ketiga saya lanjutkan (25/7/17) dengan menyusuri beberapa Kecamatan diwilayah selatan Kab. Jember yakni wilayah Kecamatan Wuluhan, Ambulu dan Tempurejo. Sama seperti hari-hari seblumnya berawal dari pagi hari saya berkeliling baru sore harinya saya mendapati seorang petani sedang menanam tembakau secara tradisional dipelosok timur wilayah Kecamatan Tempurejo. Beliau bernama Bapak Ponakri berusia 64 tahun, seperti biasa saya selalu menanyakan hal yang sama mengenai keberadan benih lokal diwilayah tersebut. Setelah berbincang cukup lama akhirnya saya menemukan titik terang dari benih lokal yang saya maksut. Benih lokal yang bisa saya dapati secara langsung yakni kacang tunggak asli wilayah tersebut. Selain itu saya juga menggali informasi mengenai keberadaan benih lokal lainnya, saya sangat bahagia sekali ketika Bapak Ponakri menyatakan bahwa ada beberapa benih padi lokal diwilayah tersebut. Kemudian saya diajak ketempat tinggalnya tidak jauh dari lahan lereng bukit. Disana beliau menceritakan bahwa ada beberapa benih padi lokal yang sudah bisa dikatakan sulit dicari lagi atau bahkan punah. Benih lokal yang dimaksut yakni padi Keropak, Cempo Welut, Kretek, Cempo Kapur, Plotan biasa (ketan biasa) dan Plotan Gejih (ketan gejih). Namun dari beberapa nama tersebut saya terkejut ketika beliau menyampaikan bahwa ada satu padi lokal yang masih ditanamnya. Padi lokal tersebut bernama pari abang atau bisa saya namakan Pari Abang Nomer Songo. Padi lokal tersebut merupakan jenis padi merah dengan potensi hasil 7 kwintal/wolon  dan usia tanaman sekitar 3 bulan. 


Ekspedisi 1: 
Nama: Padi Rawa/ Laut/ Mei/Gondang (ADA)
Kriteria: Pera 
Umur Tanam: 7 bulan
Potensi: -

Ekspedisi 2: 
Nama: Padi Sari Putih (ADA)
Kriteria: Pulen
Umur Tanam: 5,5 bulan
Potensi: 3,5 ton/ha

Nama: Padi Srikuning
Kriteria: Pera
Umur Tanam: 7 bulan
Ciri-ciri: Kuning dan berbulu
Potensi: -

Nama: Padi Siem
Kriteria: Pulen
Umur Tanam: 7 bulan
Potensi: -

Nama: Padi Putih
Kriteria: Pulen
Umur Tanam 7 bulan
Potensi -

Nama: Padi Santowo
Kriteria: Pulen 
Umur Tanam: 7 bulan
potensi: -

Nama: Padi Solong (ADA)
Kriteria: Pera
Umur Tanam: 5,5 bulan
Potensi 3,5 ton/ha

Nama: Padi Taiwan (ADA)
Kriteria: Pera
Umur Tanam: 5,5 Bulan
Potensi: 3,5 ton/ha

Nama: Padi Po'dek
Kriteria: Pulen
Umur Tanam: 7 bulan
Ciri-ciri: Berbulu dan harum
Potensi: -

Ekspedisi 3:
Nama: Pari Abang Nomer Songo (ADA)
Kriteria: Pulen
Umur Tanam: 3 bulan
Potensi:: 7 kwintal/wolon

Nama: Padi Keropak, Padi Cempo Welut, Padi Kretek, Padi Cempo Kapur
Kriteria : Pera
Umur Tanam: 7 bulan
Potensi: -

Nama: Padi Plotan Biasa, Padi Plotan Gejih
Kriteria: Ketan
Umur Tanam: 7 bulan
Potensi: -

2 komentar: